Sabtu, 25 Desember 2010

PERLINDUNGAN TENAGA KERJA MIGRAN



PERLINDUNGAN TENAGA KERJA MIGRAN

06/10/2009

Dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 bidang ekonomi, sub bidang prioritas penciptaan lapangan kerja, dengan fokus pelayanan penempatan dan perlindungan pekerja migran luar negeri, Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas menyelenggarakan rapat lanjutan dengan sejumlah instansi terkait.

Rapat yang berlangsung pada Selasa (6 /10) di ruang SS 1-2 Bappenas ini berlangsung sejak pukul 9.00 WIB hingga selesai dan dipimpin Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas Dra. Rahma Iryanti, MT.

Hadir dalam acara rapat tersebut perwakilan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, Departemen Sosial, Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Polisi Republik Indonesia.

Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa fokus prioritas pelayanan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia ke Luar Negeri adalah memfasilitasi pekerja migran dengan mempermudah mereka pindah untuk bekerja ke luar negeri dan memberikan akses informasi pasar kerja di luar negeri secara transparan kepada masyarakat.

Di samping itu, perlu dilakukan penguatan kelembagaan dan perbaikan regulasi dan mempersiapkan pekerja migran yang kurang trampil. Dengan demikian memiliki kompetensi sesuai kebutuhan pasar kerja luar negeri. Yang tak kalah pentingnya adalah memberikan bentuk perlindungan yang maksimal bagi pekerja migran yang perlu dibantu.

“Tentu peningkatan pelayanan dan pemberdayaan pekerja migran, dilakukan sejak proses perekrutan sampai si tenaga kerja tersebut kembali ke daerah asal, sudah barang tentu dengan memperhatikan masalah-masalah pokok”, kata Bu Rahma. (Humas)



PAYUNG HUKUM BAGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA


Pemerintah Indonesia khususnya, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kesra dan Departemen Luar Negeri, saat ini tengah sibuk mengkoordinasikan pemulangan sekitar enam ratus ribu (600.000) Pekerja Migran (PM) ilegal dari Malaysia. Upaya ini dimaksudkan sebagai pencegahan timbulnya nestapa TKI di Nunukan, Kalimantan Timur tahun lalu. Untuk itu, kedua negara telah menyediakan biaya bagi setiap TKI 175 sampai 300 Ringgit Malaysia.

Secara khusus, pengalaman menunjukan Tenaga Kerja Wanita (TKW) seringkali dihadapkan pada keadaan yang sangat rentan, tidak saja terkait dengan pemulangan, melainkan juga dalam kasus-kasus eksploitasi dan pelecehan  seksual. Kasus Nirmala Bonat beberapa saat lalu, tergolong kasus TKW yang telah mendapatkan perhatian khusus. Namun, tidak sedikit kasus, penyiksaan, pelecehan seksual dan upah kerja tidak dibayar luput dari perhatian publik. Sebagian kasus tersebut memang belum merepresentasikan problem pekerja migran yang sesungguhnya, karena bisa jadi melebihi penderitaan ‘Nirmala’ lainnya yang tidak sempat diliput media.

Kasus-kasus TKW yang terkena hukuman mati akibat hubungan seks di luar nikah di Timur Tengah mestinya merupakan persoalan nasional. Namun, upaya pemerintah terkesan parsial dan musiman. Status pekerja migran, termasuk yang ilegal timbul disebabkan oleh karena ketidaksesuaian kompetensi pekerjaan (Mismatched of Qualification) yang tersedia dan PRT di luar negeri telah menjadi penyebabnya. Padahal tidak seorangpun menafikkan betapa besarnya devisa negara dari hasil mereka.
Oleh karena itu, tulisan ini hendak memaparkan urgensi hukum internasional dalam penanganan pekerja migran, agar rancangan UU Pekerja Migran (UU PM) yang tengah disiapkan pemerintah berjalan sinergis.

URGENSI HUKUM INTERNASIONAL
Instrumen UU PM memang penting, tetapi menjadi kurang efektif bilamana tidak disertai dengan ratifikasi Konvensi internasional. Sebab, pekerja migran yang berada di luar negeri akan diberlakukan hukum perburuhan negara tersebut bilamana mereka melanggar. Silang sengketa perburuhan atas PM diselesaikan oleh kedua negara dalam kasus-kasus tertentu.

Seberapa jauh negara-negara yang meratifikasi Konvensi internasional terikat dengan kewajiban internasional. Misalkan, Konvensi tentang perlindungan Hak-Hak Dasar Sosial dan Ekonomi (ICSER), Konvensi Perlindungan pekerja migran dan para anggota keluarganya hasil dengan ILO dan diadopsi oleh PBB, 18 Desember 1990. Juga konvensi No.19 dan No.48 mengenai persamaan perlakuan (equal treatment) kompensasi kecelakaan dan pensiunan bagi PM tidak dapat diabaikan.

Konvensi ini penting karena mengandung prinsip-prinsip HAM, tentang subyek dan cakupan PM dan hak-haknya (Pasal 1 dan 2), kewajiban-kewajiban negara dan termasuk penerima dan pengirim, serta larangan-larangan memperlakukan mereka, seperti, non-diskriminasi, kerja paksa (Forced Workers), perbudakan dan perlindungan perlakuan yang adil ketika berperkara (Pasal 7 s/d 11). Perlakuan negara-negara pengguna PM sebagai budak dapat diancam  dengan Konvensi tentang Larangan Perbudakan, 1953. Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 menegaskan larangan memperlakukan seseorang berada dalam status pemilikan majikan, jual beli, tukar menukar, atau transfer untuk kerja paksa. Upaya-upaya untuk mencegah penggunaan bandara dan pelabuhan untuk praktek sindikat perbudakan menjadi  kewajiban Pemerintah.

Ketiga instrumen hukum internasional tersebut penting untuk dijadikan standar bagi pemerintah Indonesia. Dr. Abdul Haris, pengamat Tenaga Kerja Internasional dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta menegaskan bahwa, pemberian jaminan perlindungan harus berada dalam kerangka hukum internasional yang mampu memperjuangkan kelompok-kelompok migran tenaga kerja. Hal ini menjadi sangat penting. Pertama, masih banyak negara-negara pengguna PM RI khusus di Timur Tengah yang menempatkan mereka dengan praktek perbudakan. Kedua, subyek TKI/TKW yang biasanya menjadi PRT bukan termasuk subyek hukum perburuhan nasional. Jadi, urgensi hukum internasional selain berfungsi pencegahan, penanggulangan, juga instrumen dalam menyelesaikan sengketa hukum antara negara bagi kasus PM.

STANDARISASI PEKERJA MIGRAN
Peningkatan kualitas SDM yang kompeten dan profesional bagi PM hendaknya menjadi program pemerintah yang  amat mendesak.  Sebab, obyek pekerjaan migran yang terlindungi oleh aturan hukum internasional mensyaratkan kualitas PM standar internasional pula. Pendidiakn non-formal yang menyiapkan latihan-latihan kerja profesional perlu sertifikasi, pengawasan kualitas juga tidak dapat diabaikan. Termasuk penataan ulang agen-agen penyedia jasa pekerja migran, yang berwenang. Sanksi yang tegas pencabutan izin bagi pelanggar mutlak harus dilakukan. Situasi sosial PRT yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman rendah begitu mudah terjebak penipuan.

Ketika rancangan UU PM dirumuskan, maka parameter PM hendaknya mencakup materi muatan sebagai berikut. Pertama, substansi materi muatan UU yang obyeknya jelas dan pasti bagi TKI, termasuk PRT. Standarisasi internasional tentang PM ditandai oleh adanya parameter-parameter pengetahuan (Knowledge), keterampilan (Skill), kemahiran (Competency) batas umur, dan kecakapan komunikasi dalam bahasa internasional. Syarat-syarat pendirian agen-agen penyalur PM dan alur koordinasi oleh Departemen Tenaga Kerja kepada Pekerja Migran di luar negeri harus terjabar secara tegas.
Bilamana parameter tersebut diterapkan bagi PM Indonesia, tentu hanya mereka yang memiliki latar belakang pendidikan, seperti D3, SI atau ketrampilan khusus. Sementara, PRT yang umumnya lulus SD, SMP atau SMA, tidak dapat memenuhi parameter tersebut menjadi persoalan tersendiri. PRT yang tergolong TKI dan sifat pekerjaannya tidak profesional dan sangat lemah kedudukannya. Sehingga perbedaan status tersebut juga menentukan perbedaan hak-hak sekaligus perlindungan hukumnya.

Negara-negara seperti, Singapura, Brunei, Malaysia dan Australia memberlakukan PRT dalam hubungan hukum yang bebas. Secara umum subyek PRT memiliki parameter antara lain tidak ada kontrak kerja formal antara PRT dengan majikan, upah kerja tunai yang bervariasi, terbebas dari pajak, tidak ada jaminan pensiunan dan sangat tergantung pada kedermawanan majikan. Parameter tersebut di atas, mengindikasikan kedudukan mereka amat rentan  dan sangat dekat dengan eksploitasi manusia tapi sayangnya pemerintah juga tidak mudah untuk intervensi.

PERJANJIAN BILATERAL KHUSUS
Berdasarkan fakta bahwa  PRT merupakan aset nasional yang mendatangkan devisa negara, maka upaya pemerintah harus semakin meningkat. Upaya-upaya harus semakin konkrit, tidak berlebihan jika ada usulan PRT diganti menjadi pekerja profesional (Domestic Workers Professionalism). Penertiban agen-agen pekerja mutlak harus dilakukan. Pelanggaran dan kejahatan mafia jual beli anak dan wanita umumnya dimulai dari agen-agen perantara PM yang umumnya beroprasi di wilayah perbatasan. Perjanjian bilateral khusus PRT, dalam MoU harus semakin eksplisit.

Oleh karena status hukum PRT belum merupakan konsep hukum, pemerintah RI perlu melakukan perjanjian bilateral khusus. Penandatanganan MoU oleh Pemerintah Indonesia, diwakili Departemen Luar Negeri, Duta Besar dan Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kesra, dengan Pemerintah  Malaysia, Singapura dan negara-negara Timur Tengah menjadi sangat penting dalam menetapkan obyek PRT secara eksplisit. Sebab, draft MoU yang dengan tegas menempatkan status hukum PRT dapat menjadi instrumen hukum yang mengikat negara-negara pengirim dan penerima.

Menempatkan tugas dan kewenangan Duta Besar dan Konsul Jenderal khususnya Atase Perdagangan sebagai saluran diplomatik merupakan tuntutan utama. Pecantuman PRT dalam MoU tersebut menjadi sangat penting. Mereka tidak tergolong subjek hukum yang diatur dalam UU Perburuhan Malaysia, namun justru diatur secara khusus dalam MoU menjadi keniscayaan yang harus diperjuangkan oleh diplomat-diplomat RI. Dengan meningkatkan perjanjian bilateral secara khusus, perlakuan majikan di negara-negara Timur Tengah akan dapat mencegah perlakuan majikan terhadap PRT dalam sistem perbudakan.

Diluar upaya pencegahan dan penanganan PM migran, perlu juga diperjuangkan institusi yang otoritatif untuk menerima pengaduan. Tidak kalah pentingnya untuk mengusulkan pembentukan Komisi HAM Regional. Institusi HAM Regional ASEAN berfungsi menyelenggarakan penegakkan HAM Regional bagi negara-negara anggota ASEAN. Termasuk hak-hak dasar dan tempat pengaduan  PM.

Melalui  Forum Negara-negara ASEAN yang dipelopori oleh Menlu RI, dalam meningkatkan kerjasama dalam kebudayaan, ekonomi, dan keamanan merupakan momentum penting. Dengan berdirinya Institusi penegakan HAM tingkat Regional, diharapkan semua hak-hak warga negara termasuk kasus PRT dapat diselesaikan melalui institusi tersebut, disaat penyelesaian diplomatik gagal.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.


HAK ASASI BURUH MIGRAN INDONESIA


Kamis, 17 Juni 2004
TEMPO Interaktif

Persoalan buruh migran menjadi salah satu agenda penting dalam WCAR (World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia dan Related Intolerance) yang berlangsung pada tanggal 31 Agustus � 7 September 2001 di Durban, Afrika Selatan. Oleh masyarakat internasional, buruh migran dianggap sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusian senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya.

Sangat disayangkan sebagai negara yang menjadi daerah asal buruh migran, Indonesia (terutama pihak Pemerintah RI) tidak pro-aktif dalam perbincangan dan perdebatan masalah buruh migran di pertemuan tingkat dunia tersebut. Kesempatan berpidato Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof DR. Yusril Ihza Mahendra, SH selaku Ketua Delegasi RI di hadapan peserta konperensi, sama sekali tidak menyinggung masalah buruh migran Indonesia. Seakan bukan persoalan krusial. Justru Ms. Gabriela Rodriguez, United Nations Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants (Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran) memberi perhatian yang sangat khusus terhadap persoalan-persoalan buruh migran Indonesia.

Ketidaksensitifan pemerintah Indonesia bukan suatu kecelakaan. Presiden Megawati dalam progress reportnya di depan Sidang Tahunan MPR November 2001 menyatakan bahwa telah banyak kemajuan yang dialami dalam upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia (buruh migran Indonesia) di luar negeri, hak-hak perempuan dan hak anak. Pernyataan ini tentu sangat diharapkan jika memang realitasnya demikian. Apabila pernyataan tersebut dihadapkan pada kondisi sebenarnya dari para buruh migran Indonesia di luar negeri, khususnya kaum perempuan dan anak-anak, sangatlah bertolak belakang. Maka pernyataan itu lebih tepat dianggap sebagai retorika politik belaka.

Berdasar data KOPBUMI sepanjang tahun 2001 terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang, dengan perincian 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang diPHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransi ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah. Sementara itu dalam 3 bulan pertama tahun 2002 ini, terjadi eskalasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia di Malaysia seperti penangkapan paksa, razia, pemerasan, penyiksaan dalam kamp tahanan dan pengusiran paksa. Pemerintah Malaysia secara legal akan membatasi masuknya buruh migran asal Indonesia. Sebagaimana tampak akhir-akhir ini hal tersebut mendorong terjadinya deportasi besar-besaran buruh migran Indonesia dari Malaysia yang senantiasa disertai dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.

Diskriminasi buruh migran Indonesia tidak mengenal tempat. Di dalam negeri, mereka diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan, pemberangkatan maupun saat kepulangan. Terminal III Bandara Soekarno Hatta merupakan tempat nyata dari bentuk diskriminasi terhadap buruh migran Indonesia; dengan memisahkan mereka dengan penumpang umum lainnya.

Sebagai buruh asing di negara tempat bekerja, buruh-buruh ini juga diberlakukan secara diskriminatif. Mereka dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat. Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/Pembantu Rumah Tangga) memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang-halangi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.

Lebih dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia.

Pemerintah memang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan diskriminasi (misalnya, CEDAW/Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan berbagai Konvensi ILO). Meskipun demikian implementasi kebijakan masih mengandung semangat diskriminasi bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia.

Dalam pembahasan di WCAR, terdapat kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari terjadinya proses trafficking (perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural.

Sebagai komitmen untuk melindungi hak-hak buruh migran dan mencegah berlangsungnya perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak WCAR juga merekomendasikan negara-negara anggota meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990 dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime, the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children,

Tentunya Indonesia yang merupakan negara anggota PBB dan asal buruh migran wajib memenuhi rekomendasi-rekomendasi diatas. Bahkan disamping Nepal dan Bangladesh, Indonesia merupakan negara yang diharapkan akan meratifikasi dalam waktu cepat mengingat perlindungan yang diberikan konvensi itu juga akan melindungi kepentingan warga Indonesial Ratifikasi atas Konvensi Perlindungan Buruh-buruh Migran dan Keluarganya 1990 akan mempercepat keberlakuannya secara efektif (dibutuhkan ratifikasi 20 negara untuk itu dan saat ini sudah mencapai 19 negara). Komitmen ini sebenarnya hanya merealisasikan janji ratifikasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1998-2003, namun ternyata hingga saat ini inisiatif Pemerintah belum ada.

Di tingkat nasional, Indonesia juga harus segera menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan membuat Bilateral Agreement yang melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri. Seiring dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia harus dihapuskan.

Sebagai langkah awal yang konkrit, delegasi RI yang mengikuti konperensi tersebut bisa memulai dengan mensosialisasikan hasil-hasil WCAR dengan melibatkan secara penuh para pihak dan konstituen terkait (Departemen Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, NGO, Pers dan buruh migran).

Disamping itu, Pemerintah Indonesia juga perlu mengundang Ms Gabriela Rodriguez, Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran untuk datang ke Indonesia dan negara-negara Timur Tengah serta Malaysia agar memantau dan menginvestigasi serta melaporkan masalah pelanggaran hak asasi manusia buruh migran Indonesia.

Sumber: Komnas HAM


Mekanisme Hak Asasi Buruh Migran

16 Desember 2010 04:39 WIB

“Tanpa mempertanyakan apa pun para pekerja migran itu telah memberikan kontribusi yang besar untuk membuat Asia sebagai wilayah yang pertumbuhan ekonominya tercepat di dunia. Karena itu, perlu a human rights mechanism untuk melindungi hak-hak mereka. Sebab tentulah tidak adil jika negara-negara penerima itu menggunakan mereka sebagai sumber daya manusia tanpa memikirkan kesejahteraan mereka.”
(Presiden Fidel Ramos)

TAK jelas benar seberapa banyak sebetulnya kontribusi para pekerja migran kita kepada per tumbuhan ekonomi negara kita maupun negara penerima. Akan tetapi, sumbangannya sebagai penghasil devisa negara sekaligus andilnya mengurangi penganggurah di dalam negeri tak diragukan lagi. Bahkan. ada banyak pihak yang telah diuntungkan dari adanya pekerja migran ini. Para pengusaha, misalnya. melihat masalah tenaga ketja Indonesia-tenaga kerja wanita (TKI-TKW) itu sebagai peluang untuk memasarkan tenaga kerja migran sesuai dengan permintaan pasar internasional. Negara bahkan memfasilitasi tumbuhnya bisnis ini dengan memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas.

Meski terdapat aturan-aturan yang bertujuan melindungi para calon tenaga kerja ini dari kesewenangan para agen pengirim, pada umumnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan yang ada sangat lemah. Ini berarti menambah keuntungan: tidak saja bagi partner bisnisnya di luar negeri (agen penyalur di negara penerima), tapi juga bagi para calon TKI-TKW itu sendiri. Misalnya, mereka memungut biaya-biaya yang seharusnya telah ditanggung oleh pihak yang membutuhkan dari para TKI-TKW itu.

Sementara itu, tak bisa dimungkiri, banyak TKI-TKW kita yang berhasil menggapai cita-citanya: bekerja dengan upah yang tinggi hingga dapat memupuk modal maupun memperbaiki taraf hidup keluarga di kampung. Bagi mereka yang bekerja di Saudi mendapat keberuntungan ganda: berkesempatan menunaikan ibadah haji. Di balik cerita sukses itu, banyak juga di antara mereka yang mengalami kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Kondisi kerja mereka juga buruk, dan banyak di antaranya yang tidak dibayar sampai saat mereka kembali.

Bagi mereka yang tidak berdokumen (dalam bahasa pemerintah: ilegal), keadaannya bisa lebih parah lagi. Status mereka yang tak berdokumen itu telah menjadikan mereka bulan-bulanan para majikan maupun calo serta orang-orang yang kemudian mendagangkan mereka atau menjadikan mereka pelacur.


PERJANJIAN BILATERAL

Meski tidak ada mekanisme perlindungan hukum dan hak asasi mereka di dalam dan di luar negeri (di tempat mereka bekerja), minat untuk menjadi TKI-TKW di luar negeri tak pernah berkurang. Pengalaman pahit teman-teman mereka yang disiksa, diperkosa, tidak dibayar upahnya, di jadikan pelacur, dideportasikan sampai dengan yang dihukum pancung tak membuat mereka membatalkan niat menjadi TKI-TKW. Masalahnya, lagi-lagi, adalah kebutuhan, baik dari segi lapangan kerja maupun dari segi pemenuhan kebutuhan dan peningkatan taraf hidup. Karena itulah, penanganan para TKI-TKW kita di mana pun mereka berada tak bisa lagi ditanggulangi secara parsial dan ad hoc. Yang telah dialami oleh Solekah — menunjuk salah satu contoh sa ja — tak perlu terulang pada masa depan. Sebaliknya, upaya yang dilakukan untuk Nasiroh — yang akhirnya menyelamatkannya dari hukuman pancung perlu dilembagakan.

Bagaimanapun, para TKI-TKW kita di luar negeri tetaplah warga negara Indonesia. Mereka tidak kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara, karena mereka bekerja di luar negeri. Karena masalahnya telah menyangkut kepentingan dan hubungan dua negara, diperlukan suatu perjanjian bilateral atau mekanisme dan instrumen hukum internasional untuk mengaturnya. Sebagaimana telah disinggung di atas, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri telah menguntungkan tidak saja bagi negara pengirimnya, tapi juga negara penerimanya, dan bahkan telah memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi regional. Namun demikian, disadari pula bahwa masalah migrasi ini juga telah membelikan pengaruh yang tidak kecil bagi situasi politik, sosial, hukum, etik maupun moral dari kedua negara.

Kasus Solekah atau Nasiroh serta pemulangan 10 ribu overstayer di Arab Saudi misalnya sedikit banyak telah mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara. Jika dibiarkan tanpa penanganan yang serius, bukan tidak mungkin hubungan tersebut akan memburuk. Karena itu, masalah-masalah tersebut tidak dapat lagi kita biarkan begitu saja, baik oleh kedua belah pihak (pengirim dan penerima) maupun oleh masyarakat internasional pada umumnya.

Dalam hubungan ini, saya ingin menekankan perlunya meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Semua Migran dan Anggota Keluarganya, baik oleh negara pengirim maupun penerima. Negara pengirim, tentu saja, mempunyai kewajiban dan tanggung jawah besar untuk melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri. Itu bukan hanya karena mereka telah menghasilkan devisa dan mengurangi angka pengangguran, tapi karena mereka memang adalah warga negara yang harus dilindunginya. Karena itu, pemerinlah Indonesia sebagai negara pengirim harus mengambil inisiatif bersama-sama negara penerima untuk menciptakan mekanisme yang tepat guna melindungi mereka sesuai standar hukum internasional, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum lainnya.

Sebaliknya, negara penerima juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab kepada mereka yang telah memberikan kontribusi bagi berlanjutnya pertumbuhan ekonomi mereka. Peran mereka yang besar ini sudah selayaknya dihargai, bukan semata-mata karena keuntungan uang yang mereka dapatkan, tapi karena mereka sebagai manusia sedang berada dalam keterasingan dari keluarga, lingkungan sosial, dan budaya asal.


HAK DAN KEBEBASAN DASAR

Ratifikasi konvensi ini tidak hanya akan menguntungkan para pekerja itu sendiri, juga bagi negara pengirim dan penerima. Sebab, dengan sendirinya hal itu akan meningkatkan citra kedua negara tersebut di dunia internasional sebagai bangsa yang bertanggung jawab dan peduli terhadap nasib warga negaranya (bagi negara pengirim) dan manusia lain (bagi negara penerima). Beberapa hak penting yang dijamin dalam konvensi tersebut adalah hak dan kebebasan dasar yang meliputi hak untuk hidup; hak bebas dari kekejaman, penyiksaan, dan penghukuman; bebas dari penghambaan dan perbudakan; hak untuk mengemukakan pendapat; dan hak perlindungan atas hak milik.

Selain itu, konvensi tersebut juga menjamin hak untuk memperoleh due process of law. Hak itu yang meliputi perlindungan hukum yang sama dengan warga negara setempat; hak untuk memperoleh perlindungan dari pengusiran sewenang-wenang dan pemulangan paksa secara kolektif; hak atas privasi yang meliputi hak atas perlindungan pribadi, keluarga dan rumah; korespondensi dan komunikasi lain; perlindungan atas penyitaan dan atau penghancuran dokumen identitas; izin tinggal dan kerja; hak dan perlakuan yang sama dalam hal kondisi kerja dan pengupahan; kesejahteraan sosial; hak atas perawatan medis dalam rangka kelangsungan hidup (emergency); hak untuk aktif dalam organisasi yang dibentuk untuk melindungi hak-hak mereka; hak untuk mentransfer uang; hak atas informasi (Pasal 33); hak meninggalkan pekerjaan untuk sementara tanpa berakibat pada pemutusan kontrak; hak untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal; hak untuk berpartisipasi dalam politik di negara asal mereka; akses yang sama dengan warga setempat untuk pendidikan, kursus, kehidupan budaya dan pelayanan sosial lain; perlindungan terhadap pelanggaran kontrak serta proses yang adil pada badan-badan penyelesaian perselisihan; hak untuk bersatu dengan keluarga; hak atas perlakuan yang sama dalam hal pajak/bea cukai.

Jika kita teliti lebih lanjut, hak-hak yang terdapat dalam konvensi tersebut merupakan penegasan kembali dan perincian lebih lanjut dari standar internasional tentang hak asasi manusia. Deretan hak-hak pekerja migran tersebut, baik implisit maupun eksplisit, mcngandung kewajiban bagi negara-negara yang bersangkutan untuk menyiapkan berbagai perangkat perlindungan hukum bagi mereka. Bagaimanapun, efektifitas pelaksanaan hak-hak tersebut tentulah bergantung pada kemauan politik dari kedua negara untuk memanifestasikannya dalam sistim hukum nasionalnya, baik yang berkaitan dengan peraturan pelaksanaannya, maupun sistem administrasi dan pengawasannya.
A human right mechanism memang telah disediakan bagi para pekerja migran. Dan, hak-hak itu adalah hal mendasar yang mereka butuhkan. Persoalannya, maukah negara kita memanfaatkannya dan menjadikannya nyata bagi kehidupan para TKI-TKW itu.

Nursyahbani Kantjasungkana, dipublikasikan pada Majalah D&R, 8 November 1997

Sumber :

Pemerintah Kaji Ulang Pengiriman Buruh Migran ke Arab

Jum'at, 19 November 2010 | 12:25 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta

Pemerintah kini sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pengiriman buruh migran ke Arab Saudi. Keputusan itu mungkin diambil terkait kabar penyiksaan dan pembunuhan sejumlah tenaga kerja Indonesia di sana. "Itu salah satu solusi, masih kita analisa dulu, belum diputuskan," ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar seusai rapat penanganan bencana di Istana Wakil Presiden, Jumat (19/11).

Sumiati, salah satu buruh migran di kota Jeddah, disiksa sangat parah dan mulutnya digunting. Korban lainnya yang lebih mengenaskan adalah Kikim Komalasari, yang disiksa, diperkosa, dibunuh dan dibuang ke tong sampah.

Menurut Muhaimin, kini personil Konsulat Jenderal RI di Jeddah sedang berangkat menuju kota Abha, di mana majikannya telah ditahan polisi. Ia melaporkan perkembangannya dalam rapat di Kantor Presiden siang ini. "Kalau dimungkinkan, saya akan menuju ke sana (Arab Saudi) juga," katanya.

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/11/19/brk,20101119-292824,id.html


Jumat, 19 Desember 2008

 

Pemerintah Masih Belum Optimal Bela TKI

Jumat, 19 Desember 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Buruh migran Indonesia, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri, merayakan Hari Buruh Migran Internasional, Kamis (18/12),dengan berbagai cara.

Isu utama adalah menuntut pemerintah meningkatkan perlindungan bagi buruh migran. Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Miftah Farid mengatakan, mekanisme perlindungan buruh migran belum jelas dalam undang-undang.

SBMI menuntut pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang lebih mengedepankan perekrutan dan penempatan.

Sedikitnya enam juta buruh migran Indonesia bekerja di luar negeri. Mereka mengirim uang sedikitnya Rp 85 triliun tahun 2008, naik signifikan dari Rp 44 triliun tahun 2007. Dari jumlah tersebut, sedikitnya dua juta buruh migran Indonesia bekerja tanpa dokumen.

Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah dalam aksi bersama 19 organisasi peduli buruh migran di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, mengatakan, mereka menuntut supaya pemerintah mencabut UU No 39/2004 yang tidak berorientasi melindungi buruh migran.

Pemerintah dinilai memandang buruh migran sebagai sumber penghasil devisa. Padahal, mereka terpaksa ke luar negeri karena tidak tersedia lapangan kerja di dalam negeri.

Tuntutan serupa juga disampaikan buruh migran Indonesia di Hongkong. Dalam aksi di depan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Eni Lestari dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Hongkong menilai UU No 39/2004 lebih mengedepankan kepentingan pengusaha.

Ketua Umum Indonesian Migrant Workers Union Rusemi menambahkan, pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 Tentang Perlindungan Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya.

Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman menilai, TKI merupakan korban rezim yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. TKI sesungguhnya merupakan bukti paling nyata kegagalan SBY-JK membangun perekonomian rakyat. (ham/gun)


Waktunya Mengubah Perjanjian Kerjasama Buruh Migran dengan Malaysia

Sabtu, 13 Juni 2009 | 15:39 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Rencana Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memperbaiki perjanjian kerjasama buruh migran dengan Malaysia disambut positif.

"Memang sudah waktunya untuk perbaharui kesepakatan yang diteken Mei 2006," jelas Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo ketika dihubungi Sabtu (13/6)

Saat kesepakatan itu (Mei 2006), kata Wahyu, dibentuk pula Kelompok Kerja (working group). Kelompok ini seharusnya bertugas mengawasi jalannya isi kesepakatan, tapi menurut Wahyu, kinerjanya tidak efektif.

Kini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi berencana membentuk kelompok kerjasama yang mengurusi sistem penempatan, asuransi, biaya penempatan, perbankan khusus dan perubahan materi kontrak. Kelompok kerja ini akan diatur dalam kesepatan kerjasama (MOU) yang akan segera diperbaiki Departemen bersama Kementrian Sumber Daya Manusia.

Wahyu menilai pemerintah perlu menekankan pada kepemilikan paspor, izin cuti dan kebebesan berserikat buruh migran, dalam perjanjian yang baru ini.

Malaysia mewajibkan majikan memegang paspor tenaga kerja luar negeri yang bekerja padanya. Pada kasus siti hajar (tenaga kerja yang disiksa majikan selama 34 bulan),ucap Wahyu, ia (siti hajar) tidak berani kabur karena dokumennya ditahan majikan. "Paspor ini penting bagi perlindungan buruh migran," tegasnya.

Begitu pula izin cuti dan hari libur, ia menambahkan, belum diatur dalam kesepakatan sebelumnya. "Ini kan hak pekerja," imbuh Wahyu.

Masalah terakhir adalah kebebasan berserikat. Kalaupun pemerintah Malaysia tidak mengizinkan pekerjanya membentuk serikat, maka Wahyu berharap, pekerja dibolehkan bergabung dengan serikat pekerja di Malaysia. "Malaysia Trade Union Congress-serikat buruh di Malaysia-, bersedia menampung pekerja kita," urainya.

Tapi serikat buruh tersebut membutuhkan izin dari pemerintah Malaysia agar boleh menerima warga asing. "Izin inilah yang harus masuk dalam kesepakatan baru," tutur Wahyu.

DIANING SARI
Sumber:

ILO Dituntut Lebih Perhatikan Nasib Tenaga Kerja Indonesia

Kamis, 23 April 2009

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi berharap ILO sebagai organisasi internasional, lebih peduli nasib TKI di luar negeri yang kerap mengalami pelecehan seksual dan penyiksaan.

Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization /ILO) akan menandai ulang tahunnya ke-90 dengan sejumlah kegiatan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di usianya yang hampir seabad itu, ILO dinilai kurang berperan menyikapi permasalahan buruh migran Indonesia yang kerap muncul di permukaan, seperti soal pelecehan dan penyiksaan bagi buruh migran di luar negeri. 

Hal tersebut diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno usai membuka acara pameran foto dan dialog tripartit dalam rangka ulang tahun peringatan ILO ke-90 di gedung Depnakertrans, Rabu (22/4), Jakarta. 

Menurut Erman selama ini ILO kurang berperan dalam merespon kasus buruh migran Indonesia. Ke depan, kata Erman, ILO harus lebih berani bersikap. Jangan justru ada tenaga kerja migran yang tersiksa, disiksa, pelecehan, dan sebagainya. Jadi harus ada peran ILO secara internasional disitu, pinta Erman.  
  
Sebenarnya Erman tak menepis bahwa pemerintah tetap harus bertanggung jawab menyelesaikan persoalan ini. Namun, Erman berdalih masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini menyangkut negara lain. Oleh karenanya, sebagai organisasi internasional, ia berharap lebih kepada ILO. Harusnya ILO berani ngomong, peranan ILO itu apa dalam soal ini? ujar Erman.             

Lebih jauh, Erman juga meminta perhatian ILO terkait standarisasi gaji minimum untuk buruh migran Indonesia. Sebetulnya yang mesti dibedakan gaji adalah didasarkan pada sektornya, sementara gaji standarnya disesuaikan menurut standar gaji di negara-negara penempatan, ujarnya. 

Bukan Lembaga Advokasi
Dihubungi terpisah, Koordinator Program Pekerja Migran ILO Jakarta, Bona Sahat mengingatkan bahwa ILO bukanlah badan advokasi seperti Amnesti Internasional atau Human Right Watch yang memiliki perangkat-perangkat advokasi yang dapat menangani kasus per kasus. ILO itu adalah sebuah lembaga tripartit yang tak menangani kasus per kasus, sehingga ILO tak bisa diharapkan masuk secara ekspansif terhadap permasalahan kasus per kasus, tetapi melihatnya kasus secara umum, ujar Bona kepada hukumonline, Rabu (22/4).  

Bona menjelaskan mekanisme yang berlaku di ILO dimana dalam suatu forum, masing-masing negara anggota melaporkan dan me-review tentang implementasi dari berbagai konvensi ILO. Dalam forum itu, ILO berperan untuk mengkritisi negara anggota yang bermasalah dan kemudian memberikan masukan tentang bagaimana seharusnya implementasi dari berbagai konvensi itu. Namun memang tak bisa diharapkan kalau ILO harus datang menangani kasus per kasus karena kita bekerja di ranah yang berbeda, ujarnya.

Namun, lanjut Bona, ILO dapat memberikan rekomendasi dan catatan kritis tentang pelaksanaan konvensi. Ia mencontohkan dalam suatu sidang ILO pada 2004 ada laporan dari serikat buruh yang merupakan salah satu konstituen ILO memberikan catatan keras kepada Depnakertrans RI soal pungutan yang terlalu mahal. Itu menjadi catatan resmi forum sidang, selanjutnya ILO merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia, yang kemudian dijawab oleh Indonesia dari  hasil evaluasinya, jelasnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Thamrin Mosii sependapat dengan Bona. Jadi ILO sebagai lembaga tripartit tak masuk ke hal-hal yang sifatnya teknis, ILO hanya sebatas memberdayakan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk proaktif mengeliminir dampak negatif, termasuk soal buruh migran ini, kata Thamrin, yang juga salah seorang anggota LKS Tripartit Nasional

Menurut Thamrin, ILO melalui konvensi, deklarasi, rekomendasi yang sudah ada bersama-sama melakukan pengawasan yang kemudian dievaluasi dalam sidang tahunan, di Jenewa, Swiss. Apa-apa yang terjadi di berbagai negara, termasuk persoalan buruh migran. Apalagi soal migran ini menjadi top priority, sehingga negara-negara besar perlu melahirkan satu deklarasi tentang perang terhadap perdagangan manusia, jelasnya.       

Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah seolah memaklumi minimnya peran ILO. Kendati demikian, menurut Anis, seharusnya ILO dapat merespon kasus per kasus terkait buruh migran ini lewat jalur diplomasi karena ILO ada di berbagai negara.     

Terkait dengan itu, Anis pun memandang bahwa ILO belum mampu memujudkan suatu dialog tripartit yang produktif untuk pembaruan regulasi di Indonesia terkait proteksi buruh migran atau pekerja rumah tangga migran. Ini memang sulit karena hubungan industrial pekerja migran berbeda dengan pekerja pada umumnya. jelasnya.       

Dengan momentum ini, Anis berharap agar ILO terus mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi beberapa konvensi pokok ILO tentang perlindungan buruh migran, termasuk perlindungan terhadap anggota keluarganya.



NEGARA MAJU BUTUH PEKERJA MIGRAN BIDANG PERAWAT

 

Jakarta, 16/10/2010 (Kominfo-Newsroom)

Badan Nasional Penempatandan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menginformasikannegara-negara maju di kawasan Eropa, Amerika dan negara-negara Asiaseperti Jepang dan Korea serta kawasan Timur Tengah, sangatmembutuhkan pekerja migran bidang perawat dari negara berkembang.
Menurut Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, migrasi warga negaradari negara berkembang ke negara maju dan atau sebaliknya menjadikebutuhan yang tidak bisa dibendung. Kehadiran migrasi warga negaraberkembang atau lebih dikenal dengan pekerja migran untuk menopangdan menggerakkan roda perekonomian di negara-negara maju ini, kataJumhur di Jakarta, Sabtu (16/10).

Persoalannya, jika di negara-neraga maju tidak ada pekerjamigran, dapat dipastikan mesin produksi mereka tidak ada yangmenggerakkan, sehingga perekonomian akan ambruk dan bahkanterpuruk. Jumhur memprediksi pada 2050, perekonomian negara-negaramaju tersebut akan runtuh bila tidak ditopang oleh pekerja migransecara ideal.
Ke depan diperkirakan angka satu orang produktif akan menopangkehidupan tujuh orang tidak produktif (lanjut usia/lansia). Saatini, kondisinya masih satu orang produktif menopang kehidupan tigaorang tidak produktif. “Jadi, kalau di negara-negara maju ini tidaksegera ditopang oleh tenaga kerja asing (migran), termasuk TKI yangbisa merawat dan mengurus para lansia yang terus bertambah, makagerak roda perekonomian negara mereka akan terancam,” ujarnya.

Jumhur mencontohkan Jepang yang saat ini sangat membutuhkancukup banyak TKI bidang perawat dan cargiver (pendamping lansia),karena umur lansia di Jepang semakin tinggi sehingga lansia diJepang cenderung terus mengalami peningkatan.
Jepang membutuhkan tenaga kerja sebanyak 600.000 orang,sementara Indonesia mengirim TKI ke Jepang hanya 10.000 orangsesuai pertemuan dalam kerjasama bilateral tentang pengiriman TKIke Jepang beberapa waktu lalu. Saat itu, Saya sempat ditertawakanoleh Pemerintah Jepang dengan mengirimkan TKI yang hanya berjumlah10.000, padahal mereka membutuhkan lebih dari itu, katanya.
Dibutuhkannya pekerja migran dan juga TKI sebetulnya merupakanpeluang bagi negara-negara berkembang termasuk TKI. Hanya saja,menurut Jumhur, diperlukan pengelolaan yang baik dan benar dalamhal penempatan TKI di negara-negara tujuan penempatan. “Denganpengelolaan penempatan TKI yang terencana dan terpogram secarabaik, akan menghasilkan TKI yang berkualitas dan bermartabat,”tandasnya.

Jumhur mengungkapkan hingga saat ini sekitar 60.000 TKI beradadi negara-negara penempatan atau sekitar 2.000 TKI per hari yangdikirim ke seluruh negara tujuan penempatan, baik yang dilakukanpemerintah maupun swasta melalui Penyelenggara Penempatan TKISwasta (PPTKIS). Beberapa waktu lalu, BNP2TKI mengirim 116 TKIperawat dan pendamping orang tua ke Jepang, kata Jumhur.(Az/dry)



PEKERJA MIGRAN - Pemerintah Harus Serius

Jumat, 19 November 2010 | 03:03 WIB



Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, Sumiati binti Salan Mustapa (23), asal Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat, kembali mengguncang masyarakat Indonesia. Sumiati yang baru bekerja empat bulan pada keluarga Khaled Salem M al-Khamimi di Madinah, Arab Saudi, bibirnya digunting majikan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan kepada para menteri terkait menangani serius kekerasan yang terjadi pada Sumiati (Kompas, 18/11). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari akan memimpin langsung tim dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Kesehatan, yang akan menangani kasus Sumiati di Arab Saudi (Tribunenews.com, 17/11).

Kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia selalu berulang meskipun pemerintah telah berupaya membuat berbagai peraturan. Tampaknya ada yang salah dengan kebijakan penanganan pekerja migran, terutama yang bekerja di sektor informal, sehingga kekerasan terus berlangsung.

Analis kebijakan Migrant CARE, organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi hak pekerja migran, Wahyu Susilo, mengatakan, meskipun upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kasus Sumiati patut dihargai, persoalan kekerasan terhadap buruh migran sifatnya lebih mendasar.

Dalam menangani pekerja yang mengalami kekerasan di luar negeri, Wahyu berpendapat, Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak penanganan buruh migran di luar negeri menggunakan cara penyelesaian kasus yang tidak memberikan efek jera pada majikan.

”Kemlu memakai diplomasi santun, yaitu keluarga korban diberi dua pilihan. Pertama, melanjutkan kasus di pengadilan dengan risiko memakan waktu lama dan mungkin kalah, sementara pilihan lain adalah berdamai dengan pelaku,” papar Wahyu.

Wahyu menuturkan, pada Agustus 2007 Migrant CARE mencoba mengadvokasi kekerasan terhadap empat pekerja rumah tangga (PRT) Indonesia yang mengalami kekerasan dari majikan di Arab Saudi sehingga menyebabkan meninggalnya Siti Tarwiyah dan Susmiati serta luka parah pada Rumi dan Tari.

Dalam perjalanan kasus, menurut Wahyu, Kemlu menawarkan kepada keluarga korban untuk berdamai dengan pelaku. ”Upaya Presiden SBY kami hargai, tetapi harus dipantau benar penyelesaian hukum agar berjalan tuntas,” kata Wahyu.


PENCEGAHAN

Upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap PRT migran juga belum optimal. Salah satu penyebabnya percaloan tenaga kerja yang bekerja di desa-desa miskin. Mereka merekrut tenaga kerja dan tidak memberi pelatihan memadai, termasuk menjelaskan hak pekerja. Bahkan, tak sedikit calon pekerja diperdagangkan dengan memalsukan identitas dan mengirim kepada majikan yang berbeda dari pengetahuan calon tenaga kerja.

Tentang ini, Wahyu mengingatkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki balai latihan kerja yang mendapat stimulus Rp 300 miliar per tahun sejak dua tahun lalu. ”Hasilnya belum terlihat pada kompetensi dan kematangan PRT migran,” kata Wahyu dari Sabah, Malaysia.

Tidak adanya kontrol dari pemerintah terhadap pelatihan pekerja migran itu berakibat PRT yang menjadi korban pelampiasan kekesalan majikan.

”Yang harus diubah adalah sistem kerja pemerintah dalam kontrol, bukan menyalahkan PRT migran dengan mengatakan hentikan pengiriman dan mereka pantas mendapat kekerasan karena tidak terampil,” papar Wahyu.

Direktur Eksekutif Migran CARE Anis Hidayah secara terpisah menyebutkan, yang dibutuhkan PRT Indonesia adalah perlindungan hukum. Ironisnya, Indonesia dan Arab Saudi sama-sama tidak mendukung rancangan konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang perlindungan PRT. Indonesia juga belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran.

Kejadian terhadap Sumiati harus menjadi momentum mengevaluasi semua kebijakan buruh migran, termasuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. UU ini menurut Wahyu lebih menekankan pada uang yang dihasilkan pekerja migran (remiten) daripada perlindungan terhadap mereka.

Total pekerja migran Indonesia sekitar 6,5 juta orang, sekitar 4,5 juta pekerja berstatus legal. Dari jumlah itu, kira-kira 75 persennya perempuan yang bekerja sebagai PRT.

Pekerja migran sepanjang 2010 hingga Oktober mengirim remiten 7,135 miliar dollar AS. Menurut Wahyu jumlah ini jauh lebih besar dari bantuan pembangunan negara asing sebesar 1,2 miliar dollar AS.

”Ironisnya, kita manut saja diatur negara pemberi bantuan, seperti permintaan Presiden AS Obama (membuka pasar Indonesia). Sementara buruh migran yang menghasilkan devisa berlipat-lipat tak mendapat perlindungan memadai,” kata Wahyu.

Relasi kuasa

Persoalan buruh migran tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dan isu jender. PRT migran berada pada relasi kuasa yang amat timpang karena mereka perempuan dan bekerja di sektor informal di rumah tangga.

Di rumah, perempuan calon buruh migran, terutama yang masih muda, kerap mengalami pemaksaan dari lingkungannya yang miskin untuk segera bekerja. Pendidikan yang rendah menyebabkan peluang kerja yang tersedia biasanya sebagai PRT.

Begitu keluar rumah, mereka menjadi korban perekrut tenaga kerja. Di tempat kerja, status pekerja informal membuat mereka tak memiliki posisi tawar dengan majikan.

Pemerintah pun tidak mendukung perlindungan terhadap PRT karena enggan mendukung konvensi ILO tentang perlindungan terhadap PRT.

Isu tentang TKW dan perdagangan perempuan ini akan menjadi salah satu bahasan dalam Konferensi Hukum dan Penghukuman yang diadakan Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Komnas Perempuan di Kampus UI Depok, 28 November-1 Desember.

Konferensi ini membahas juga pengalaman perempuan dan kerja perempuan di berbagai tingkatan dan sektor. Lemahnya pelembagaan kerja perempuan dan desakan kebutuhan untuk melahirkan dan memastikan penguatan jangka panjang mekanisme nasional guna membangun pengetahuan perempuan melatarbelakangi konferensi ini.(Ninuk M Pambudy)



300-an Pekerja Migran Indonesia Terancam Hukuman Mati di Malaysia

Senin, 23 Agustus 2010, 21:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,Lembaga kajian Sabang-Merauke Circle menyatakan, 300-an pekerja migran Indonesia di Malaysia saat ini terancam hukuman mati. Mereka ini menjalani proses hukum dengan dakwaan terlibat tindak kriminal seperti narkoba ataupun pembunuhan. Mereka ini berangkat ke Malaysia sebagai tenaga kerja.

Menurut direktur eksekutif Sabang-Merauke Circle Syahganda Nainggolan, lembaganya merespon kenyataan ini karena terkait dengan banyak hal yang bersifat hubungan antara Indonesia dengan Malaysia yang perlu segera dituntaskan.

Lebih jauh Syahganda memaparkan bahwa martabat Indonesia intensif diserang oleh Malaysia. Baik dari persoalan migrant workers yang sering menjadi korban kekerasan di Malaysia maupun pembayaan gaji yang ditunda atapun paspor yang ditahan majikan serta hak keluarga migran di sana.

Kedua, ancaman dari Malaysia selain Pulau Sipadan dan Ligitan yang diklaim, Malaysia semakin banyak mengambil tanah Indonesia di Kalimantan. Patok-patok perbatasan dimajukan ke arah Indonesia sehingga mereka menguasai berbagai wilayah.

Terakhir Indonesia harus berurusan dengan kepolisian Malaysia di Indonesia. Jadi petugas Indonesia dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ketika bertugas menangkap pencuri Malaysia malah ditangkap polisi Malaysia.

Dalam menghadapi hal-hal seperti itu SBY harus bersikap tegas dan menyatakan siap berperang dengan Malaysia kalau tidak memperhatikan sistem hubungan bilateral yang saling menguntungkan dan bersahabat.

Namun Syahganda juga menegaskan bahwa dari pihak Indonesia sendiri, pemerintah kurang melindungi para migrant workers di sana. Seharusnya, mereka sudah sejak awal terdeteksi, persoalan-persoalan yang dihadapi mereka di sana. Seharusnya sudah terdeksi apa tuduhan terhadap mereka ini.

Yang terancam hukuman mati ini, menurut data yang diketahui sampai sekarang, meskipun mereka dimasukkan dalam kategori perbuatan kriminal tapi mereka pergi ke sana sebagai pekerja migran. Memang perlindungan terhadap mereka lemah, demikian Syahganda.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: radio netherlands



PROGRAM TKI: PROGRAM PERDAGANGAN MANUSIA

Mohamad Zaki Hussein
| 15 December 2010 | 09:29

Belum lama ini, kasus buruh migran mencuat kembali ke permukaan. Sumiati (23), seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dianiaya secara keji oleh majikannya di Arab Saudi hanya karena dianggap tidak cakap dalam bekerja. “Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak,” ujar seorang petugas Rumah Sakit (RS) King Fahd seperti dilansir oleh Antara (15/11/2010). Lebih mengerikan lagi, bibir bagian atasnya digunting oleh majikannya.

Penganiayaan juga dialami oleh Kikim Komalasari, seorang TKI asal Cianjur, Jawa Barat, yang bekerja di Arab Saudi. Bedanya, kalau Sumiati masih hidup, Kikim disiksa majikannya sampai tewas. Jenazahnya pun dibuang ke tong sampah. Konon, ia dibunuh majikannya tiga hari sebelum Hari Raya Idul Adha. Informasi mengenai kematian Kikim disampaikan oleh seorang relawan Posko Perjuangan TKI (Pospertki) PDI-Perjuangan di Kota Abha.

Persoalan memang tak henti-hentinya menimpa buruh migran Indonesia. Menurut data Migrant Care, pada tahun 2010, terdapat 45.845 masalah buruh migran. Enam masalah terbesar adalah deportasi dari Malaysia sebanyak 22.745 kasus; disusul dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dan tidak digaji sebanyak 8080 kasus; lalu dipenjara di Malaysia sebanyak 6845 kasus; persoalan sakit saat bekerja sebanyak 3568 kasus; penganiayaan sebanyak 1187 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak 874 kasus.
Sebelumnya, pada tahun 2009, terdapat 5314 kasus kekerasan terhadap buruh migran Indonesia. Dari 5314 kasus itu, 97% dialami oleh perempuan, sementara hanya 3% yang dialami laki-laki. Lalu, terdapat pula 1018 kasus kematian buruh migran di tahun 2009. Dari 1018 kematian tersebut, kasus kematian karena kecelakaan kerja berjumlah 90 kasus, sementara kematian karena kekerasan berjumlah 89 kasus. Adapun kematian yang tidak diketahui sebabnya berjumlah 268 kasus.

Selain persoalan-persoalan di atas, buruh migran juga menghadapi masalah pemerasan. Menurut Darto, Ketua Biro Buruh Migran Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), pungli terhadap TKI terjadi di setiap tahapan yang dilalui. Dimulai sejak rekrutmen di desa, mereka sudah terkena pungli dalam pembuatan dokumen-dokumen yang diperlukan. Misalnya, untuk membuat Surat Catatan Keterangan Kepolisian (SKCK) di kepolisian, mereka bisa terkena pungli Rp150 ribu. Belum lagi kalau menggunakan sponsor, punglinya bisa Rp700 ribu, bahkan sampai Rp1 juta.

Kemudian, saat pemberangkatan dan di negara tujuan, mereka terkena pungli lagi. Misalnya, ketika mau berangkat, mereka diminta uang Rp3 juta dengan berbagai alasan, seperti untuk biaya dokumen dan transpor. Pada saat pulang, pungli juga mengerubungi mereka kembali. Ketika tiba di Terminal IV, mulai dari pengangkut barang, pendataan sampai asuransi, memungut biaya ilegal dari mereka. Kemudian, saat diantar ke kampung halaman, mereka masih terkena pungli oleh sopir travel. Jumlahnya antara Rp300 ribu-Rp1 juta. Belum lagi, mereka juga rentan terkena pelecehan seksual oleh para sopir.
Pertanyaannya, kenapa buruh migran Indonesia rentan terkena masalah, terutama kekerasan dan pemerasan? Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan, persoalannya ada di perlindungan hukum. Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bisa terlihat dari keengganan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin, untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, padahal 80% buruh migran Indonesia bekerja di sektor rumah tangga.

Pendapat senada diungkapkan oleh Beno Widodo, Koordinator Departemen Pengembangan Organisasi (DPO) KASBI. Menurutnya, ada masalah di kemauan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum. Selain itu, Beno juga menyebutkan diserahkannya pengiriman buruh migran kepada swasta sebagai penyebab kerentanan mereka. ”Karena diserahkan ke swasta, maka dia hanya cari untung,” ujar Beno dalam diskusi publik Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) yang bertajuk ”Derita Buruh Migran Indonesia: Apa Jalan Keluarnya?” (3/12/2010).

Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum memang merupakan salah satu penyebab kerentanan buruh migran terhadap kekerasan dan pemerasan. Begitu pula dengan ”privatisasi” pengiriman buruh migran, karena watak swasta adalah mencari untung. Namun, yang patut ditanyakan lebih lanjut adalah kenapa pemerintah enggan memberikan perlindungan hukum? Kemudian, apabila peran swasta dihapuskan dan pengiriman buruh migran dilakukan oleh negara, apakah keadaan akan menjadi lebih baik?

Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, perlu dilihat karakter negaranya. Menurut Nur Harsono dari Migrant Care, pemerintah memang sengaja mendorong pengiriman TKI untuk mengejar target devisa. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan, pada tahun 2004, pemerintah menargetkan penempatan 400 ribu TKI dengan remiten 2 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah penempatan 380.690 TKI dengan remiten 1,9 milyar dolar AS.
Kemudian di tahun 2005, pemerintah menargetkan penempatan 700 ribu TKI dengan remiten 3 milyar dolar AS, meskipun yang terealisasi adalah 474.310 TKI dengan remiten 2,93 milyar dolar AS. Lalu, di tahun 2006, pemerintah menargetkan penempatan 700 ribu TKI dengan remiten 3,5 milyar dolar AS, walaupun yang terealisasi adalah 680.000 TKI dengan remiten 3,41 milyar dolar AS. Sementara, di tahun 2007, pemerintah menargetkan penempatan 750 ribu TKI dengan remiten 3,63 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah 108.732 TKI dengan remiten 0,884 milyar dolar AS.
Jadi, apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan program TKI ini sebenarnya adalah mengkomodifikasi rakyatnya, memperdagangkan dan mengorbankan mereka demi mendapatkan devisa. Inilah sebabnya kenapa pemerintah tidak begitu peduli dengan perlindungan hukum, karena kepentingannya hanyalah mengejar devisa. “Kalau menghitung remitensinya, pemerintah sangat hafal, tapi kalau satu kasus saja, lima bulan belum tentu gol, karena tidak punya mekanisme penyelesaian kasus,” tutur Nur Harsono.
Dengan karakter negara yang demikian, apakah akan ada perbaikan jikalau peran swasta dihapuskan dan pengiriman TKI dilakukan sepenuhnya oleh negara? Rasanya tidak. Ini bukan berarti peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih baik, karena mereka juga terlibat dan menerima keuntungan dari perdagangan manusia ini. Baik negara maupun swasta dalam konteks ini memiliki watak yang serupa, yaitu sama-sama mencari keuntungan dengan memperdagangkan manusia. Yang menjadi persoalan di sini adalah sistem perdagangan manusianya itu sendiri.

Adapun sistem perdagangan manusia ini dimungkinkan karena banyaknya pengangguran di Indonesia. Program TKI sendiri selain ditujukan untuk mendapatkan devisa, juga untuk mengurangi pengangguran. Ini tentu bukan solusi bagi problem pengangguran. Seharusnya, pemerintah membuka lapangan pekerjaan dan bukannya melakukan perdagangan manusia. Dalam menanggapi apakah sebenarnya pengiriman buruh migran diperlukan atau tidak, Beno Widodo menyatakan, “kalau pertanyaannya perlu atau tidak perlu, jawabannya tidak perlu jika negara membuka lapangan pekerjaan.”


pekerja, bmi, tki, tkw, worker, labor, labour, kerja, migran, migrant, buruh, babu, pembantu rumah tangga, perawat, nurse, hongkong, batam, barelang, kepri, indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar